SEJARAH PERDAGANGAN KERAJAAN MATARAM KUNO ~ KEKUASAAN MEDANG SAMPAI FILIPHINA
Kerajaan Matarām Kuna merupakan salah satu kerajaan yang mempunyai rentang waktu yang cukup panjang (3 abad). Nama Matarām Kuna muncul pertama kali pada masa pemerintahan raja Sañjaya yang memerintah sejak tahun 717 M atau permulaan abad ke-8 hingga pertengahan abad ke-10, yaitu sampai dengan masa pemerintahan Rakai Sumba/ Paɳkaja Dyaḥ Wawa.
Matarām berkembang di Jawa Tengah dengan ibukotanya Mḍang di wilayah Poh Pitu. Kerajaan Matarām yang berpusat di Jawa Tengah mengalami masa kejayaan dibawah pemerintahan Raja Balituɳ. Pada saat itu, wilayah kekuasaannya terbentang dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur.
Misalnya daerah Malang merupukan wilayah kekuasaan Matarām sewaktu masih di Jawa Tengah. Hal ini dibuktikan dengan adanya temuan Prasasti Saɳguran, 850 Śaka (=2 Agustus 928 M), yang ditemukan di Malang dan dibuat atas perintah Raja Dyaḥ Wawa.
Data yang dapat membantu kita dalam menjelaskan perdagangan masa Matarām Kuna adalah sumber-sumber tertulis yang berupa prasasti, karya sastra, maupun berita-berita dan catatan Cina dari masa tersebut, serta data relief dari candi-candi dan artefak yang sezaman.
Pusat kerajaan Matarām Kuna terletak di di Jawa Tengah dengan intinya sering disebut Bumi Mataram. Daerah ini dikelilingi oleh Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merapi – Merbabu, Gunung Lawu, dan Pegunungan Sewu. Daerah ini juga dialiri oleh Sungai Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo, dan Sungai Bengawan Solo.
Itulah sebabnya daerah ini sangat subur sehingga mendorong masyarakat setempat membangun pertanian dengan membuka lahan-lahan pertanian dengan ditanami aneka tanaman pertanian seperti padi dan rempah.
Dalam prasasti Kayuwaṅi-Balituɳ abad 9-10 M, telah dikenal nama pejabat apkan, apekan, mapakkan, mapakan, mapkan, mapěkan, yaitu pejabat yang menangani hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan/pasar.
Juga terdapat istilah abakul, adagang dan banyāga, yang berarti pedagang. Jan Wisseman Christie mengartikannya menjadi, Abakul (pedagang eceran), Adagang (pedagang besar, antar pulau, internasional) dan Banyāga (pedagang grosir).
Petunjuk mengenai kemungkinan adanya kelompok-kelompok pedagang dapat diketahui dari jenis-jenis barang yang mereka perdagangkan atau cara-caranya barang-barang dagangan tersebut diangkut.
Kelompok makanan dan bumbu-bumbuan atau komoditi di bidang pertanian terdiri dari bawang (bawang), bras (beras), garam/wuyah (garam), gula, inga (minyak), pipakan/kapulaga (jahe, tanaman jahe); wwahan/pucang sireh (buah-buahan terutama pinang), lada, kelapa, cabai, kemukus, kapas, kapulaga, mengkudu, kesumba dan bunga.
Yang sebagian juga disebutkan dalam berita Cina maupun teks Rāmāyaṇa, yaitu palawija seperti labu, ubi, talas atau keladi, beligo, kacan, jelai, jewawut, terong, dan cabai.
Dalam prasasti Pihak Kamalagī atau Kuburan Candi tahun 743 Śaka (831 M) menyebutkan sawah, lading, rawa dan kebun menjadi sīma dimana lahan tersebut tidak dikenakan pajak.
Adapun yang termasuk dalam kategori hewan adalah hewan besar yang terdiri dari kbo (kerbau), sapi, wdus (kambing), celeng (babi), unggas terutama andah (itik) dan telurnya.
Seperti yang tercatat dalam prasasti Muṇḍuan yang berangka tahun 728 Śaka (806 M) yang menyebutkan adanya penjualan hewan ternak dalam jumlah besar. Selain hewan darat, ikan juga menjadi salah satu komoditi perdagangan kategori hewan.
Dalam prasasti Paṅgumulan A, Rukam (829 Śaka/907 M), dituliskan juga berbagai jenis ikan baik ikan segar, maupun pja (ikan laut/asin), atau ikan yang sudah dikeringkan juga menjadi barang dagangan pada masa ini.
Termasuk golongan sandang adalah wasana (pakaian), amahang/kasumbha/pamaja(bahan pewarna), kapas, lawe (benang). Kategori perlengkapan umum adalah galuhan (batu permata), gangsa (perunggu), anganam (keranjang); labeh (kulit penyu), makacapuri (kotak sirih); mangawari (permata), masayang/tamwaga (peralatan tembaga), tambra (lempeng tembaga), timah, wsi (besi).
Barang-barang dagang golongan sandang ini dituliskan di prasasti Rukam, Wukajana dan Lintakan yang berangka tahun 841 Śaka (919 M).
Keterangan yang lebih lengkap mengenai komoditi ekspor maupun impor lebih banyak diperoleh dari berita-berita Cina, antara lain kain sutra, paying sutra dari Cina, pedang dari Timur Tengah dan India, nila, lilin batik, belanga besi berkaki tiga, piring dan mangkuk bervernis, keramik Cina terutama yang berwarna biru-putih, warangan, tikar pandan, merica, pala, kapur barus, gading, emas, perak dan tembaga.
Bukti bahwa masyarakat Matarām Kuna telah mengimpor kain adalah dengan ditemukannya sebutan pada prasasti-prasasti, diantaranya wḍihan bwat kliɳ putiḥ (wḍihan buatan Kling putih) pada prasasti Juruṅan 798 Śaka (876 M), kain bwat waitan (kain buatan Timur) dalam prasasti Taji tahun 823 Śaka (901 M), dan kain bwat lor (kain buatan Utara) dalam prasasti Sara ṅan tahun 851 Śaka (929 M)
Selain para penjual barang dagangan, dalam prasasti dan naskah banyak yang menyebutkan bahwa pada masa ini masyarakatnya juga ada yang menjual jasa yang disebut maṅilala drawya haji (abdi istana yang tidak memperoleh daerah lungguh sebagai imbalan jasanya, tetapi mendapatkan gaji berupa uang).
Maṅilala drawya haji memiliki tugas yang bermacam-macam, diantaranya para petugas pajak (wilaɳthāni wlaɳ wanua), dan para abdi dalem istana, antara lain pasukan pengawal istana (magalaḥ, mamanaḥ, magaṇdi), para pembuat perhiasan (maniga, maɳrumban, pamaṇikan), seniman dan seni wati seperti pesinden (widu, paṅiduɳ), dalang(mawayaɳ), penari topeng (maɳrakat, matapukan, manapal), pelawak (mabañol, mamirus), serta pemusik (mapaḍahi, maregaɳ, mabrekuk), pembuat benda-benda tanah liat (maɳdyun), pembuat gula (maɳgula), pembuat kapur (maɳhapῡ), pembuat arang (maɳharen), pembuat barang-barang anyaman (maɳañamañam), pembuat payung (magawai payuɳ wlῡ), pembuat upih (mopih), pembuat kisi(magawai kisi), pembuat rungki (maruɳki), pembuat kajang (magawai kajaɳ), tukang soga (maɳlākha), pembuat bahan cat warna merah (mañawrɳ /maṅubar), pembuat benang (maṅapus), pembuat tarub(matarub), pembuat jaring (manawaɳ), pembuat bubut (mamubut), pembuat sarang burung (manahab/mamisaṇḍuɳ), pembuat cat warna hitam (mañambul), pembuat pernis ? (mapaṅaṅan), pembuat jerat binatang (makalakala), pembuat minyak jarak (maɳluruɳ), pandai mas (paṇḍai mas), pandai besi (paṇḍai wsi), pandai tembaga (paṇḍai tamwaga), pandai perunggu (paṇḍai tamra), pandai dandang (paṇḍai daɳ ), pandai kawat (paṇḍai kawat), dan tukang kayu (uṇḍahagi).
Para pengrajin mengerjakan pekerjaan sesuai dengan keahliannya masing-masing dan sesuai dengan bahan baku yang dipakai seperti yang tertulis pada prasasti Saɳguran dari tahun 850 Śaka (928 M) yang dikeluarkan oleh Rakai Paɳkaja Dyaḥ Wawa, menyebutkan tentang peresmian sebuah desa atau sekelompok desa yang menghasilkan jenis produksi tertentu di daerah Manañjuɳ
Mengenai distribusi, meskipun hanya tersirat didalam prasasti tetapi dapat kita temukan penggambaran adanya aliran barang dagang tertentu, seperti adanya barang dagang hasil produksi dari daerah pantai yang dikonsumsi oleh masyarakat di pegunungan.
Hal tersebut tentu erat kaitannya dengan suatu jaringan transportasi yang memperlancar transaksi. Pada masa raja Balituɳ perdagangan mulai mendapat perhatian.
Jalur-jalur yang dipakai para pedagang ialah jalur darat, pedagang yang membawa dagangannya dalam jumah besar menggunakan pedati atau gerobak (padati, mapadati, magulunan), pedagang laki-laki yang dalam jumlah sedikit diangkut menggunakan kuda atau sapi (atitih) atau dibawa dengan pikulan (pinikul dagaɳnya), sedangkan pedagang wanita menggunakan bakul yang digendong di belakang dengan memakai kain gendongan.
Untuk jalur suangai, barang dagangan diangkut menggunakan perahu (maparahu). Jalur sungai mempunyai peranan dalam perdagangan. Perahu dipakai sebagai alat trasportasi disebutkan dalam prasasti Tlaɳ yang berangka tahun 825 Śaka (903 M).
Pada masa Raja Balituɳ aktivitas perhubungan dan perdagangan dikembangkan lewat Sungai Bengawan Solo. Pada Prasasti Wonogiri (903) yang dikeluarkan oleh Raja Balituɳ disebutkan bahwa raja memerintahkan untuk membuat pusat-pusat perdagangan dan penduduk disekitar kanan-kiri aliran Sungai Bengawan Solo yang menjamin kelancaran arus lalu lintas perdagangan melalui aliran sungai tersebut.
Bengawan Solo adalah sungai yang berhulu di bukit sebelah selatan Surakarta yang tadinya hanya berupa sungai kecil yang semakin membesar karena adanya pertemuan dengan sungai-sungai lain.
Sungai ini melalui Sukowati Jagaraga, Madiun, Jipang, Blora, Tuban, Sedayu, dan bermuara di Gresik yang memungkinkan perahu kecil dan sedang mengarunginya sampai jauh ke pedalaman. Sebagai imbalan kepada penduduk desa di kanan-kiri sungai Bengawan Solo, raja memutuskan bahwa mereka dibebaskan dari pungutan pajak.
Selain itu ada juga prasasti Kaladi yang berangka tahun 831 Śaka (909 M) yang juga menjelaskan mengenai usaha pemerintah pada masa itu dalam membuat sarana trasportasi menggunakan sungai. Lancarya pengangkutan perdagangan melalui sungai tersebut dengan sendirinya akan meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Matarām Kuna.
Yang menakjubkan, Kerajaan Medang atau disebut juga Mataram Hindu ternyata sebuah kerajaan dengan wilayah pengaruhnya hingga ke Filipina. Bukti hai tersebut tertera dalam prasasti Keping Tembaga Laguna Filipina.
Prasasti Keping Tembaga Laguna atau Lempeng Tembaga Laguna ditemukan tahun 1989 di Laguna de Bay, Manila, Filipina. Adalah penambang pasir yang bekerja di sungai Lumbang di daerah Laguna, Filipina, menemukan gulungan tembaga dengan tulisan-tulisan yang aneh tertera di atasnya.
Penanggalan yang tertera menunjukkan tahun 822 Saka, atau 21 April, 900 M pada masa pemerintahan Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambu
Prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuna meskipun banyak kata-kata dari bahasa Sanskerta, bahasa Jawa Kuna, dan bahasa Tagalog Kuna, serta ditulis dengan aksara Kawi.
Isi prasasti ini mengenai pernyataan pembebasan hutang emas terhadap seseorang bernama Namwaran. Di dalamnya juga menyebutkan sejumlah nama tempat di sekitar Filipina (Tondo, Pila, dan Pulilan), serta menyebut nama "Mdang" (kemungkinan besar Kerajaan Medang di Jawa), serta beberapa tempat yang belum bisa dipastikan seperti Dewata.
Prasasti ini menjadi petunjuk mengenai adanya pengaruh Kerajaan Medang di Pulau Luzon pada awal abad ke-10. Sekarang dokumen ini tersimpan di Museum Nasional Filipina.
Prasasti ini, bersama dengan penemuan lain yang diketemukan akhir-akhir ini di negara tersebut seperti Golden Tiara dari Butuan, tembikar dan artifak perhiasan emas dari abad ke-14 yang ditemukan di Cebu, merupakan hal yang sangat penting dalam upaya merevisi sejarah kuno Filipina (900–1521).
Isi prasasti tersebut adalah:
Swasti Shaka warsatita 822 Waisaka masa di(ng) jyotisa. Caturthi Krisnapaksa somawara sana tatkala Dayang Angkatan lawan dengan nya sanak barngaran si Bukah anak da dang Hwan Namwaran dibari waradana wi shuddhapattra ulih sang pamegat senapati di Tundun barja(di) dang Hwan Nayaka tuhan Pailah Jayadewa.
Di krama dang Hwan Namwaran dengan dang kayastha shuddha nu diparlappas hutang da walenda Kati 1 Suwarna 8 di hadapan dang Huwan Nayaka tuhan Puliran Kasumuran.
dang Hwan Nayaka tuhan Pailah barjadi ganashakti. Dang Hwan Nayaka tuhan Binwangan barjadi bishruta tathapi sadana sanak kapawaris ulih sang pamegat dewata [ba]rjadi sang pamegat Medang dari bhaktinda diparhulun sang pamegat.
Ya makanya sadanya anak cucu dang Hwan Namwaran shuddha ya kapawaris dihutang da dang Hwan Namwaran di sang pamegat 'Dewata.
Ini grang syat syapanta ha pashkat ding ari kamudyan ada grang urang barujara welung lappas hutang da dang Hwa ...
Terjemahan bebas
"Swasti. Tahun Saka 822, bulan Waisakha, menurut penanggalan. Hari keempat setelah bulan mati, Senin. Di saat ini, Dayang Angkatan, dan saudaranya yang bernama si Bukah, anak-anak dari Sang Tuan Namwaran, diberikan sebuah dokumen pengampunan penuh dari Sang Pemegang Pimpinan di Tundun (Tondo sekarang), diwakili oleh Sang Tuan Nayaka dari Pailah (Pila sekarang), Jayadewa."
"Atas perintahnya, secara tertulis, Sang Tuan Namwaran telah dimaafkan sepenuhnya dan dibebaskan dari hutang-hutangnya sebanyak satu Katî dan delapan Suwarna di hadapan Sang Tuan Puliran Kasumuran di bawah petunjuk dari Sang Tuan Nayaka di Pailah."
"Oleh karena kesetiaannya dalam berbakti, Sang Tuan (Yang Terhormat) yang termasyhur dari Binwangan mengakui semua kerabat Namwaran yang masih hidup, yang telah diklaim oleh Sang Penguasa Dewata, yang diwakili oleh Sang Penguasa Medang.
Ya, oleh sebab itu seluruh anak cucu Sang Tuan Namwaran sudah dimaafkan dari segala hutang Sang Tuan Namwaran kepada Sang penguasa Dewata. (Pernyataan) ini, dengan demikian, menjelaskan kepada siapa pun setelahnya, bahwa jika di masa depan ada orang yang mengatakan belum bebas hutangnya Sang Tuan ..."
Selain hal tersebut ternyata penduduk Matarām Kuna tidak hanya dikenal pandai bertani, tetapi juga pandai membuat beragam kerajinan kemudian dimasa pemerintahan Dyah Balituɳ pun kerajinan tangan mulai dikembangkan sehingga pusat-pusat perdagangan dikawasan kerajaan Matarām Kuna tidak hanya seputar dunia pertanian melainkan juga beragam tempat traksaksi jual beli kerajinan tangan seperti tembikar, giok, gerabah tidak saja terbuat dari tanah liat, batu tetapi kerajinan emas dan perak.
Beragam kerajinan awalnya dibuat untuk kalangan keraton Matarām Kuna perkembangannya kalangan elit dimasa lalu memiliki koleksi aneka kerajinan tembikar dan emas.
Pusat perdagangan yang dibuat Dyah Balituɳ telah meningkatkan perekonomian serta kesejahteraan rakyat Matarām Kuna.
Perak adalah salah satu barang dagangan yang dibawa pedagang asing seperti pedagang Tiongkok, India dan negara lainnya sebagaimana tercatat dalam kronik Tiongkok yang diduga telah ada hubungan diplomatik terungkap dalam catatan Tiongkok Hsin Tsing Shu 618-906 dan sejarah Rajakula Sung 906-1279 tentang keadaan pulau Jawa saat itu.
Kemajuan ekonomi kerajaan Matarām Kuna terlihat dari mata uang logam terbuat dari emas atau perak dikenal dengan nama mata uang emas tahil yang diduga sebagai alat pembayaran sah mataram kuno kala itu.
Perdagangan yang dilakukan di pasar memiliki suatu sistem, dimana adanya organisasi yang saling terkait. Dalam sistem pasar pada masa Matarām Kuna terdapat beberapa komponen-komponen, yaitu riotasi, produksi, distribusi, transportasi dan transaksi, yang dimana semua komponen-komponen tersebut saling berkaitan satu sama lain dan saling ketergantungan.
Pada masyarakat Jawa Kuno dikenal konsep pañatur desa dan panatsa desa yang dimasa kemudian dikenal dengan konsep mañcapat dan mancalima, yaitu suatu desa induk dikelilingi oleh empat desa yang terletak di arah empat penjuru mata angin, atau dikelilingi oleh delapan desa di delapan penjuru mata angin.
Konsep tersebut merupakan tanda rasa kerukunan sebuah desa dengan keempat atau kedelapan desa tetangganya dan dikaitkan juga dengan sistem klasifikasi hari-hari pasar yang lima atau pancawara dengan mengatur rotasi hari-hari pasar pada desa-desa tertentu.
Hal ini diperkuat dengan ditemukannya prasasti Paṅgumulan A yang berangka tahun 824 Śaka yang dikeluarkan oleh raja Balituɳ berisikan adanya sebuah kegiatan hari pasar yang mana para pedagangnya berasal dari desa yang sedang hari pasar dan desa-desa lainnya berdatangan membawa dagangannya ke pasar.
Ada juga prasasti Purworejo (900 M) yang menjelaskan tentang kegiatan perdagangan. Kegiatan di pasar ini tidak diadakan setiap hari melainkan bergilir, berdasarkan pada hari pasaran menurut kalender Jawa Kuno.
Pada hari Kliwon, pasar diadakan di pusat kota. Pada hari Manis atau Legi, pasar diadakan di desa bagian timur. Pada hari Paking (Pahing), pasar diadakan di desa sebelah selatan. Pada hari Pon, pasar diadakan di desa sebelah barat. Pada hari Wage, pasar diadakan di desa sebelah utara.
Pembangunan pusat-pusat perdagangan juga terus dikembangkan sebagai pusat transaksi jual beli barang dagangan yakni dengan membangun dan menetapkan desa dalam suatu wilayah sebagai desa perdikan yang dijelaskan oleh Dyah Balituɳ disejumlah prasasti penting salah satunya prasasti Ayam Teas yang disebutkan desa Ayam Teas dijadikan sebagai tanah perdikan dan sebagai tempat pedagang.
Prasasti Ayam Teas yang berangka tahun 822 Śaka atau tahun 900 M, disebutkan desa Ayam Teas yang dijadikan sebagai tanah perdikan sebagai tempat pedagang.
Tempat tersebut tidak diperbolehkan dilewati oleh para petugas pajak, dijadikan sīma. Dan hanya 3 pejabat dari setiap daerah bebas yang diperbolehkan membawa secara bebas 20 ekor kerbau, 40 ekor sapi, 80 ekor kambing dan telur satu kandang dalam kendaraan.
Dengan demikian jelaslah bahwa pada masa kekuasaan Dyah Balituɳ selain pertanian dengan sistem irigasi, tata niaga, peternakan, kerajinan dan perpajakan juga sudah berjalan secara teratur.
Prasasti lain yang menjelaskan tentang desa perdikan yakni prasasti Mantyasih 907 ditemukan dikampung Mateseh, Magelang Utara berisi tentang desa Mantyasih yang ditetapkan Dyah Balituɳ sebagai daerah bebas pajak Prasasti ini masih berdiri megah di kampung Mateseh berupa lumpang batu yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan sima atau desa perdikan dan prasasti Mantyasih juga menjelaskan tentang keberadaan gunung Susundara dan Wukir Sumbing.
Adapun peraturan lain adalah peraturan yang berkaitan dengan pembayaran pajak. Pajak yang dikenakan kepada para pedagang tidak diketahui jelas berapa jumlahnya, karena di dalam prasasti hanya dituliskan jumlah maksimal barang-barang yang boleh di perdagangkan.
Jika jumlah barang dagangan lebih dari yang ditentukan maka sisanya akan dikenakan pajak, contohnya adalah peraturan pajak yang tertulis di prasasti Liṅgasuntan yang berangka tahun 851 Śaka (929 M), yaitu:
(=semua pedagang yang ada di [daerah yang dijadikan] sīma dibatasi jumlahnya, yang tidak dikenakan pajak [adalah] tiga tuhān untuk semua pedagang. Jika pedagang kerbau batasnya 30 [ekor], sapi [batasnya] 40 [ekor], kambing [batasnya] 80 [ekor], itik [batasnya] satu wantayan, [brang-barang yang di angkut] pedati [batasnya] tiga pasang, pembuat karah [batasannya] tiga lumpaɳ, [barang-barang yang diangkut oleh] kuda [batasannya] satu kulit, paṇḍai [logam, batasannya] tiga ububan, tukang kayu [batasannya] satu tuhān, paḍahi [batasannya] tiga taṅkilan, pemintal kain [batasannya] empat pemintal, [barang-barang yang diangkut] perahu [batasannya] satu perahu dengan tiga tiang tanpa geladak. Jika dipikul dagangannya seperti pakaian, barang-barang tembaga, kotak sirih, pedagang kapas, mengkudu, [barang-barang dari] besi, tembaga, [dan] perunggu, timah, garam, paḍat, minyak, beras, gula, pamaja, bsar, kasumba, [dan] segala macam jenis barang-barang yang dijual [dengan] dipikul [batasnya] lima bantalan dalam satu tuhān.
Hanya pedagang-pedagang pikulan di dalam sīma yang demikian yang tidak kena oleh maṅilala drabya haji yang berlainan setiap desa. Jika melebihi dari apa yang ditetapkan [maka] selebihnya [untuk] sodhara haji tanpa kecuali.
Dari Prasasti Warudu Kidul diperoleh informasi adanya sekumpulan orang asing yang berdiam di Matarām Kuna. Mereka mempunyai status yang berbeda dengan penduduk pribumi. Mereka membayar pajak yang berbeda yang tentunya lebih mahal daripada rakyat pribumi Matarām.
Kemungkinan besar mereka itu adalah para saudagar dari luar negeri. Namun, sumber-sumber lokal tidak memperinci lebih lanjut tentang orang-orang asing ini. Kemungkinan besar mereka adalah kaum migran dari Cina.
Berita Cina menyebutkan adanya dua bentuk transaksi masa Matarām Kuna, yaitu barter dan menggunakan mata uang sebagai alat tukar. Mata uang biasanya hanya digunakan pada saat membeli tanah atau barang-barang berharga saja karena nilai mata uang sangat besar, sedangkan untuk membeli sesuatu yang murah hanya dilakukan dengan barter.
Mata uang pada masa Matarām Kuna adalah mata uang pertama yang ada di Indonesia, dicetak pertama kali sekitar tahun 850/860 Masehi.
Berita dinasti Song menyebutkan bahwa penduduk Jawa pada mesa itu memakai potongan-potongan emas dan perak yang menjad alat tukar, sedangkan Chau Ju Kua menyebutkan mata uang yang dipakai dibuat dari campuran perak, tembaga dan timah yang dipotong seperti dadu dan diberi cap. Koin atau mata uang yang terbuat dari emas berbentuk kecil seperti kotak.
60 biji mata uang ini bernilai 1 talih emas, dan 32 biji sama dengan ½ talih. Mata uang ini dikenal dengan uang Jawa (she-p’o-kin), sedangkan berdasarkan data prasasti satuan uang emas itu disebut dengan istilah kāti, suwarṇa, māsa dan kupaɳ. Sedangkan uang perak dikenal dengan sebutan kāti, dhārana, māsa dan kupaɳ Satu kāti sama dengan 20 dhārana atau 20 suwarṇa atau satu talih sama dengan 16 māsa dan 1 māsa sama dengan 4 kupaɳ. Pada mata uang perak dikenal juga istilah atak yang nilainya sama dengan 2 kupaɳ atau ½ māsa, jadi 1 māsa sama dengan 4 kupaɳ.
Uang emas pada bagian depannya terdapat huruf devanāgarī “ta” singkatan dari tahil. Di belakangnya terdapat incuse (lekukan ke dalam) yang dibagi dalam dua bagian, masing-masing terdapat semacam bulatan. Dalam bahasa numismatik, pola ini dinamakan “Sesame Seed”.
Sedangkan koin perak Māsa mempunyai diameter antara 9-10 mm. Pada bagian muka dicetak huruf Devanagari “mā”, singkatan dari māsa atau “ku”, singkatan dari kupaɳ, dan di bagian belakangnya terdapat incuse dengan pola “Bunga Cendana”. Bentuk kupaɳ lebih cekung dai pada māsa.
Koin-koin atau mata uang tersebut, mempunyai berat yang sama, yaitu māsa beratnya 2,4-2,5 gram dengan diameter 12-15 mm (sama dengan 2 atak atau 4 kupaɳ), atak beratnya 1-1,2 gram (sama dengan ½ māsa) dan satu kupaɳ yang beratnya 0,5-0,7 gram (sama dengan ¼ Masa atau ½ Atak).
Berita Cina maupun teks Rāmāyaṇa yang menjelaskan mengenai komoditi atau makanan dan bumbu-bumbuan yang diperdagangkan pada masa Mataram Kuna.
Perak adalah salah satu barang dagangan yang dibawa pedagang asing seperti pedagang Tiongkok, India dan negara lainnya sebagaimana tercatat dalam kronik Tiongkok yang diduga telah ada hubungan diplomatik terungkap dalam catatan Tiongkok Hsin Tsing Shu 618-906 dan sejarah Rajakula Sung 906-1279 tentang keadaan pulau Jawa saat itu.
Kemajuan ekonomi kerajaan Matarām Kuna terlihat dari mata uang logam terbuat dari emas atau perak dikenal dengan nama mata uang emas tahil yang diduga sebagai alat pembayaran sah Mataram Kuno kala itu.
Berita Cina menyebutkan adanya dua bentuk transaksi masa Matarām Kuna, yaitu barter dan menggunakan mata uang sebagai alat tukar. Berita dinasti Song menyebutkan bahwa penduduk Jawa pada masa itu memakai potongan-potongan emas dan perak yang menjad alat tukar.
Berita Chau Ju Kua menyebutkan mata uang yang dipakai dibuat dari campuran perak, tembaga dan timah yang dipotong seperti dadu dan diberi cap.
Referensi
1. Nastiti, Titi Surti. 2003. Pasar di Jawa Mesa Mataram Kuna Abad VIII-XI Masehi. Bandung : PT. Kiblat Buku Utama
2. Jones, Barrett M. Antoinette. 1984. Early Tenth Century Java From The Inscriptons. Dodrecht-Holland : Foris Publication
3. Sumadio, bambang (ed.). 1984. Sejarah Nasonal Indonesia II. Jakarta : P.N. Balai Pustaka
4. Boechari. 2012. Melacak Jejak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia
5. Wheatlet, Paul. 1959. Geographical Notes on some Commodities involved in Sung Martme Trade, dalam JMBRAS, vol. 32. Singapore
6. Y, Ninie Soesanti dan Irmawati M Johan. 1992/1993. Laporan Penelitian Mata Uang Kuna di Indonesia Sebuah TInjauan Sejarah Ekonomi Abad 9-17 Masehi. Depok : Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.
7. Mahanizar. 1988. Upacara Penetapan Sima Pada Mesa Rakai Kayuwangi Dyah LOkapala dan Rakai Watukura Dyah Balitung. Skripsi"
8. Prasasti AYAM TEAS III ( 822 Ś = 900 M)" BPCB Jawa Tengah kemdibud.go.idDiakses 11 Mei 2019.
9. Prasasti Keping Tembaga Laguna, Filiphina.
Diambil dari karya Shofa Nurhidayati dariacademia.edu yang penulis sadur. Dengan judul "Epigrafi Indonesia Kuno “Perdagangan Masa Mataram Jawa Tengah Abad 8 – 10 M”, kita ungkap selengkapnya.
Post a Comment for "SEJARAH PERDAGANGAN KERAJAAN MATARAM KUNO ~ KEKUASAAN MEDANG SAMPAI FILIPHINA"
silahkan di share